Sustainable Fashion System (SFS)

 

Halo, kali ini aku mau berbagi sedikit experience yang buat aku lebih aware dengan lingkungan sekitar. Experience tentang bagaimana aku mendapatkan berbagai sudut pandang mengenai Sustainable Fashion System (SFS) atau sistem fashion berkelanjutan. Tadinya aku juga ga tau apa itu SFS. Bahkan waktu aku ambil coursenya di edX, bayangannya itu akan belajar tentang desain fashion atau how to mix & match daily fashion, etc (I know it’s sounds weird, but it’s true haha).

Sustainable Fashion System (SFS) menurut Wikipedia adalah gerakan dan sebuah proses untuk mendorong perubahan produk dan sistem fashion agar dapat sejalan dengan ekologis dan keadilan secara sosial. Fashion berkelanjutan lebih dari penanganan tekstil atau produk fashion. SFS membahas seluruh sistem tentang bagaimana pakaian diproduksi, siapa yang memproduksinya, dan berapa lama masa pakai suatu produk sebelum mencapai tempat pembuangan akhir. Prosesnya melibatkan sistem sosial, budaya, ekologi, dan keuangan. SFS menjadi penting untuk dibahas atau disebarkan awareness-nya karena melibatkan banyak orang. Dari mulai produksi bahan baku di lapangan, proses pengolahannya, pembelinya, hingga dampaknya.

Pada produksi bahan baku di lapangan, banyak petani kapas yang teracuni oleh pestisida karena dipaksa untuk terus memproduksi dengan skala yang banyak tetapi dengan biaya yang sedikit. Produksi dengan biaya yang minim mengakibatkan kurangnya alat pelindung diri, kurangnya pengetahuan petani tentang bahaya saat penyemprotan dan bahaya yang ditimbulkan limbahnya. Masuk ke bagian pengolahan, pewarna pakaian jelas menghasilkan banyak logam berat yang mencemari sungai. Tidak berakhir sampai sana, pada saat penjahitanpun pakaian tetap menghasilkan limbah dari sisa potongan kain yang tidak terpakai. Serangkaian kegiatan produksi pakaian tersebut memenuhi kebutuhan dan keinginan para pembeli di hampir seluruh dunia—yang sebagian besar tidak tahu tentang dari mana asal dan bagaimana jalannya suatu pakaian yang mereka kenakan.

Pemilik produk fashion, berlomba-lomba menjadi yang termurah agar menjadi andalan para pembeli. Selain itu, mereka cenderung memberi katalog baru dan mempromosikan pakaian baru di setiap musimnya dengan berbagai iklan. Hal tersebut, menyebabkan tumpukan sampah pakaian bertambah banyak. Ya, begitulah fast fashion bekerja secara linear. Semua gambaran tentang fast fashion dan dampaknya bisa ditonton di film dokumenter The True Cost.

Selain dari insight dari film, banyak experience yang aku dapat waktu mengikuti kelas di WUR (Wageningen University and Research) tentang Circular Fashion edX. Aku jadi tahu bahwa sekarang di negara-negara Eropa seperti Belanda. Warganya banyak membeli pakaian second-hand, juga menggelar event sewa dan tukar baju. Semua itu dilakukan untuk mengurangi limbah pakaian dan membuat sebuah lingkaran fashion (circular fashion).

Kegiatan circular fashion ini menarik ya? Bagaimana dengan kondisinya di Indonesia?

Kegiatan berbelanja untuk second-hand saat ini mulai dilirik oleh anak muda. Hal tersebut dikarenakan selain mendapatkan pakaian brand besar dengan harga yang murah, bagi sebagian yang sudah aware dengan lingkungan membeli barang second-hand atau dengan istilah Thrifting  merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap alam.

Kegiatan sewa baju telah populer sejak lama di Indonesia. Tapi kegiatannya terbatas untuk beberapa jenis pakaian tertentu seperti kebaya, kemeja, baju wisuda. Sedangkan jenis pakaian yang lain? Kayanya kita yang harus mulai tradisi ini gais!

Untuk kegiatan tukar baju sendiri, beberapa komunitas di kota-kota besar sudah mulai mengadakan eventnya. Salah satu yang aku tahu media besar yang andil dalam hal tersebut adalah akun instagram @tukarbaju. Aku harap kedepannya, tidak hanya komunitas saja yang begerak. Namun, semakin banyak kegiatan tukar baju yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi terutama di kalangan mahasiswa.

Kegiatan-kegiatan untuk mendorong circular fashion didasarkan karena orang sering bosan dengan satu jenis pakaian yang sering dikenakan. Kalau belum tahu bagaimana mengerikannya sebuah fast fashion sih pasti langsung beli pakaian yang baru. Tapi setelah aware, rasanya mending dijual-beli (second-hand), disewa, atau ditukar. Soalnya, pakaian yang menurut kita mungkin sudah membosankan, tapi bagi orang lain mungkin tidak.

Selain kegiatan-kegiatan di atas, hal yang penting juga untuk diedukasi adalah bagaimana kita memilih bahan dengan memperhatikan komposisinya ketika membeli suatu pakaian. Keterangan komposisi tersebut biasanya terletak di label. Rata-rata males dibaca ya gais? Sama akupun tadinya gitu. Nanti jangan diabaikan lagi ya, karena masing masing bahan memiliki caranya sendiri untuk terdegradasi. Penjelasan di video berikut ini, akan membantu sebagai gambaran.

Nah, di video tersebut dijelaskan bagaimana perbedaan antara satu bahan dengan bahan yang lain. Sekarang, bagaimana kalau bahan pakaian kita terdiri dari beberapa campuran bahan? Yap, akan menyulitkan proses pendegradasiannya karena masing-masing bahan terdegradasi secara berbeda. Di video berikut, akan membantu menggambarkan bagaimana perbedaannya.

Jadi, sudah terbayang kan kenapa kita harus tahu komposisi bahannya?

Komposisi bahan yang seharusnya kita pilih untuk mendukung circular fashion adalah pakaian yang mengandung satu jenis bahan saja untuk memudahkan proses pendegradasian.

Lalu, kenapa harus kita yang pilih?

Kenapa ga industrinya yang menyediakan produk satu bahan saja?

Ya, kembali lagi ke demand ya gais. Pembeli yang membentuk pasarnya. Jika pembeli hanya membeli produk-produk dengan satu jenis bahan saja dan tidak membeli produk dengan komposisi yang kompleks maka industri-pun akan mengikuti.

So, how can I know what kind of fabric that I should use/wear?

Jawabannya adalah sesuaikan dengan kebutuhannya. Pada dasarnya, fungsi pakaian adalah untuk melindungi, maka sesuaikanlah dengan tempat tinggal. Contohnya, bahan cotton itu lembut, dingin, dan menyerap air yang cocok dengan iklim tropis di musim panas. Sedangkan bahan polyester itu tahan air yang cocok untuk iklim tropis di musim hujan.

Tadi kan udah dibahas ya, tentang bagaimana mengelola pakaian agar tidak terbuang dan bagaimana memilih bahan pakaian untuk mempermudah pendegradasiannya di lingkungan. Nah, sekarang kita bahas design pakaiannya yang mendukung circular fashion. Apa saja itu?

1. Desain yang minim limbah pakaian, salah satunya adalah mode siren suit. Siren suit adalah jenis pakaian yang langsung digunakan untuk seluruh badan sehingga meminimalisir adanya pemotongan kain dan potongan-potongan kain yang menjadikan lebih banyak limbah. Menurut Ray (2017), siren suit atau setelan sirene ditemukan dan dipopulerkan selama Perang Dunia II oleh Perdana Menteri Inggris Winston Churchill. Seperti namanya, setelan sirene dirancang untuk digunakan saat perang. Ketika sirene serangan udara berbunyi untuk memperingatkan adanya bahaya, orang-orang dapat dengan cepat mengenakan setelan sirene yang praktis untuk mencari perlindungan.


 

Mode desain minim limbah pakaian juga dikenalkan oleh fashion designer muda yaitu Vera de Pont yang menjembatani antara designer dengan kebutuhan konsumen melalui teknik produksi tekstil 3D. Produksi ini memproduksi desain-desain yang tidak memerlukan pemotongan atau pengurangan limbah. Contoh desainnya seperti ini:

 
Jadi, nanti cetakannyapun seperti yang ada pada desain. Didalamnyapun sudah terdapat corak pola tertentu sehingga tidak membutuhkan tambahan apapun. Perjalanan mengenai idenya dapat ditonton di video:

2. Desain yang memiliki daya tahan tinggi—dapat menahan kerusakan sehingga memiliki umur yang panjang. Contohnya adalah Emma Whiting for Puma pada produk sepatu yang bila semakin lama disimpan, maka warna perlahan memudar dan akan ada corak tergambar berasal dari debu yang menempel. Produk ini berprinsip bahwa semakin lama produk itu disimpan, maka semakin berkembang produk tersebut.

3. Desain yang mudah untuk didaur ulang/digunakan lagi. Contohnya adalah produk dari Petit Pli untuk pakaian bayi. Pakaian bayi sering kali harus disesuaikan seiring dengan pertumbuhannya. Hal tersebut menjadikan banyaknya limbah pakaian bayi. Produk dari Petit Pli ini dapat memanjang dan menyesuaikan ukuran dari pertumbuhan bayi.

Tidak hanya desainnya, tapi juga kita harus aware dengan bahan fashion berkelanjutan yang sekarang sedang dalam berbagai penelitian gais. Beberapa bahannya yaitu terbuat dari fruitleather (kain yang berasal dari buah), mycelium, algae, dan rumput laut. Dengan pilihan pewarnaan menggunakan natural-dye (pewarna natural) atau bahkan yang lebih sustainable sih pastinya tanpa pewarna. Wah, rasanya ga sabar ya buat menanti penelitian-penelitian itu jadi produk yang kita pakai nantinya. Mungkin ada yang tertarik untuk menelitinya?

Seperti penelitian yang dilakukan Fruitleather Rotterdam nih contohnya gais!

Sedangkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia tentang produk mycelium untuk menjadi bahan fashion. Salah satunya sudah dikembangkan oleh perusahaan asal Bandung yaitu MycoTech. Berikut videonya gais~

Okay, kayanya segitu aja cerita experience aku yang kurang lebih satu tahun lalu ikut edX course tentang Sustainable Fashion System. Course ini berjudul: Circular Fashion: Design, Science and Value in a Sustainable Clothing Industry. Course-nya masih available buat temen-temen yang masih penasaran. Kelasnya yang sekarang lagi buka berakhir hingga 15 September, dan ada satu kelas lagi yang buka mulai 4 Agustus. Soalnya yang aku jelasin ini baru satu butiran pasir di luasnya pantai ilmu coursesnya~ Hehe. Langsung aja bisa enroll di https://www.edx.org/course/circular-fashion-in-a-sustainable-clothingindustry?index=product&queryID=e623b6755ebbc292166c370c857cfde7&position=1 

Sebagai penutup, ada insight dari salah satu pemateri di coursesnya. Beliau mengatakan bahwa teknologi di bidang lain itu sudah banyak dilakukan. Contohnya komputer yang tadinya begitu besar, sekarang bisa jadi laptop yang kecil dan mudah dibawa kemana-mana, begitu pula dengan teknologi robot. Tetapi, kenapa teknologi di bidang fashion tidak dikembangkan? Apalagi dampaknya sangat terasa karena menyangkut hidup kita sehari-hari. Jadi, ga ada alasan lagi buat ga gerak untuk mencari material yang bisa mendegradasi pakaian kita karena itu akan sangat berarti bagi lingkungan~

Referensi:

edX Course. 2020. Circular Fashion: Design, Science and Value in a Sustainable Clothing Industry.

Ray, Deen. 2017. The Siren Suit. https://eng410wwiilit.commons.gc.cuny.edu/2017/12/06/the-siren-suit/ diakses 14 Juli 2021.

Wikipedia. Sustainable Fashion. https://en.wikipedia.org/wiki/Sustainable_fashion diakses 13 Juli 2021.

Komentar

Posting Komentar

Popular Posts

Ringkasan Novel Sunda "Lain Eta" Karya Moh.Ambri

Spektrofotometri (Hukum Lambert Beer)

Circular Economy